Mengapa
masalah yang menyangkut kepentingan publik terkesan dibiarkan dan tidak dipedulikan
oleh pemerintah? Mengapa hal ini terjadi? Kedua pertanyaan ini mungkin sering
kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan sepertinya juga kedua
pertanyaan tersebut merupakan sebuah endless questions yang selalu
dipertanyakan dan mungkin belum pernah juga terjawab.
Hubungan
antara kepentingan publik dan kebijakan publik dapat bersifat reciprocal mereka
saling terkait. Kebijakan publik yang diharapkan dapat memenuhi kepentingan
publik pada akhirnya diharapkan untuk kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat.
Sebenarnya masyarakat selalu menanti setiap kebijakan yang dapat memenuhi
kennginan mereka misalnya terpenuhinya sandang, papan, pangan, pendidikan,
kesehatan yang murah dan terjangkau oleh masyarakat banyak.
Sebagai
contoh fasilitas umum seperti transportasi darat. Jalan merupakan fasilitas
mendasar atau krusial yang sangat dibutuhkan masyarakat. Pertumbuhan perekonomian misalnya sangat
tergantung dengan sarana transportasi yang memadai. Jika transportasi lancar
maka distribusi produk –produk dari desa ke kota atau sebaliknya juga lancar. Tapi
yang terjadi adalah masih banyak sekali sarana transportasi ini yang masih
bermasalah. Perbandingan antara kondisi
jalan dan pertambahan transportasi darat sangat tidak seimbang dan bahkan dapat
dikatakan berbanding terbalik. Disatu sisi jumlah transportasi dan bobotnya
terus bertambah sedangkan di lain pihak keadaan sarana transportasi seperti
jalan tidak bisa mengimbangi baik secara kualitas maupun kuantitas. Lagi-lagi
menimbulkan pertanyaan apakah pemerintah tidak serius dalam mempropoprsikan
anggaran untuk kepentingan publik.
Berdasarkan
Hasil kajian Asian Development Bank (ADB) mengungkapkan, sekitar 70%-80%
dari total anggaran negara diperuntukkan bagi kepentingan publik. Tapi
kenyataannya, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) merilis data,
pada 2012 terdapat 291 kabupaten/kota memproyeksikan belanja pegawai di atas
50%. Terdapat 11 dari 291 daerah yang memiliki belanja pegawai di atas
70% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), sehingga
rata-rata hanya tersisa 10%-15% untuk kegiatan publik. Artinya, APBN/APBD selama
ini terkuras untuk kepentingan belanja pegawai.( http://www.suaramerdeka.com
dan http://www.neraca.co.id/22
April 2012).
Ketidakmerataan
pembangunan, kesempitan ruang fiskal, politisasi penerimaan PNS, gunjingan
terhadap kenaikan gaji pegawai, bonus gaji ke-13, remunerasi dan isu-isu miring
lain kiranya bisa dinetralisasi dengan penganggaran APBD/APBN yang
proporsional, akuntabel, transparan dan profesional. Jika ini bisa diwujudkan,
maka slogan dari rakyat untuk rakyat bukan sekadar retorika politik, namun
mendasari kebijakan elite birokrat dalam mengemban tanggung jawab dan amanat
rakyat.
Jadi
dapat kita simpulkan bagaimana suatu kepentingan publik dapat terealisasi
dengan baik jika peran pemerintah dengan modal anggaran yang dibuatnya masih
belum betul-betul pro kepada
rakyat. Namun dengan tekad yang kuat dan
niat yang tulus kita masih berharap pemerintah masih dapat memperbaiki keadaan
dengan pengaaggaran APBN /APBD yang
proporsional, transparan, akuntabel dan professional.
Kita berharap agar para analis
kebijakan terus memberikan sumbangsih pemikiranya terhadap setiap kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Begitu juga dengan pemerintah sebagai policy
maker agar selalu membuat kebijakan yang pro rakyat, yang selalu menyadari
mengapa,kapan dan yang terpenting untuk siapa kebijakan itu dibuat. Parson
(2001:56) Selanjutnya setiap kebijakan yang diterapkan
harus saling terkait dengan kebijakan sebelumnya dan kebijakan yang akan diambil
pada masa yang akan datang, sehingga kebijkan dapat berjalan secara
berkesinambungan dan tidak terputus-putus dan tidak selalu mulai dari awal.
1 komentar:
Setuju kepentingan rakyat harus selalu diutamakan
Posting Komentar